Risiko Pelecehan Seksual
Di Youtube maupun pada caption di posting video dan media lainnya itu dijelaskan soal adanya risiko anak kita mengalami pelecehan seksual atau jadi korban perundungan kalau kita kirim dia ke sekolah menginap, baik pesantren maupun boarding school. Ada sejumlah tanggapan yang basisnya adalah ketidakpahaman soal apa itu risiko.
Ada yang bilang bahwa risiko mengalami pelecehan seksual dan perundungan itu ada, baik di sekolah umum maupun boarding. Lalu, apakah berarti kita tak mengirim anak ke sekolah saja? Ada pula yang bilang, pelecehan oleh bapaknya sendiri bisa terjadi. Apakah sebaiknya tidak punya anak saja, agar anak tidak mengalami pelecehan?
Sekali lagi, itu komentar orang-orang yang tak pernah belajar manajemen risiko, sehingga mereka tak paham apa definisi risiko, juga skala risiko, dan bagaimana bersikap terhadap risiko. Nah, saya jelaskan, ya.
Risiko adalah peluang terjadinya sesuatu yang tidak kita ingini. Dalam hal ini pelecehan seksual dan perundungan. Begitu anak kita keluar rumah, mereka langsung berhadapan dengan risiko itu. Itu fakta. Artinya, sekolah di boarding school/pesantren, atau sekolah umum, sama-sama punya risiko. Tapi manajemen risiko menjelaskan bahwa kita bisa mengukur besarnya risiko itu.
Kalau kita perhatikan, risiko di boarding school/pesantren secara umum lebih tinggi, karena 3 sebab. 1, masa tinggal anak-anak di tempat itu lebih lama dibandingkan di sekolah umum. Di sekolah umum anak kita hanya bersekolah 6-8 jam sehari, di sekolah boarding 24 jam sehari. 2, di sekolah boarding anak-anak melewati waktu-waktu privat seperti tidur, mandi, dan sebagainya, yang tidak mereka lewati kalau mereka sekolah di sekolah umum. 3, relasi guru-murid atau antarteman di boarding school lebih intens dibanding dengan di sekolah umum.
Dari situ kita sudah bisa melihat bahwa sama-sama ada risikonya, tapi tingkatnya berbeda.
Lalu apakah karena ada risiko lantas kita tidak usah menyekolahkan anak saja? Toh sama-sama ada risiko. Nah, ini konyol lagi. Menurut manajemen risiko, ada beberapa sikap yang bisa dipilih untuk menghadapi risiko.
Yang pertama, hindari. Untuk risiko yang tinggi, hindari saja. Nah, bagi saya, risiko anak mendapat pelecehan di sekolah boarding lebih tinggi. Maka saya hindari risiko itu dengan tidak menyekolahkan anak ke sana. Tapi lihat lagi posting saya sebelumnya. Alasan utamanya bukan itu. Alasan 1 dan 2 adalah soal pilihan saya terhadap prinsip pendidikan anak. Alasan risiko itu hanya nomor 3.
Apakah orang lain juga sebaiknya tidak menyekolahkan anak ke boarding school atau pesantren? Saya tidak bilang begitu. Di video saya jelaskan, bagi yang memilih untuk menyekolahkan anak ke boarding school, bijaklah memilihnya. Pilih sekolah yang punya reputasi bagus, sistemnya menjamin. Bisa kok kita periksa itu. Misalnya, kalau pondok putri, adakah pengasuh berjenis kelamin perempuan yang memegang kendali dominan. Ini cara kedua, yaitu mitigasi risiko. Lakukan asesmen, pastikan risikonya rendah.
Ringkasnya, saya tidak melarang orang untuk mengirim anak ke pesantren boarding school, Mengkritik saja pun tidak. Saya hanya menjelaskan preferensi pribadi saya. Dulu juga sudah pernah saya tulis.
Sama saja. Di sekolah umum pun saya melakukan asesmen untuk menakar risiko perundungan. Saya pilih sekolah yang punya aturan tegas terhadap perundungan. Juga sekolah yang menyediakan jalur komunikasi intensif dengan guru. Plus, sekolah anak-anak saya dilengkapi dengan CCTV.
Bagaimana dengan risiko anak mengalami pelecehan di rumah? Apa sebaiknya tidak punya anak saja agar tidak ada risiko pelecehan? Ini kan konyol. Asal mangap.
Apakah ada risiko anak mengalami pelecehan di rumah? Ada. Termasuk oleh bapaknya. Dalam hal ini Anda harus kenal istilah "pemilik risiko". Siapa pemilik risiko "anak mengalami pelecehan seksual oleh bapaknya"? Ibu dan anak. Dalam hal ini bapak bukan pemilik risiko. Nah, yang harus bersikap terhadap pemilik risiko adalah pemilik risiko.
Apa yang harus dilakukan oleh seorang ibu terhadap risiko itu? Pertama, selektif memilih laki. Jangan kawin sama blangsak. Kedua, kalau sudah terlanjur kawin sama blangsak, jaga interaksi anak dengan bapaknya. Ketiga, kalau lakinya normal, tetap batasi interaksi anak perempuan dengan bapaknya. Misalnya, jangan bolehkan anak perempuan yang sudah remaja tidur satu kasur-satu selimut dengan bapaknya, apalagi saat tidak ada orang lain.
Itu berlaku sama terhadap abang atau kerabat lain. Perhatikan perilaku anak-anak kita. Kalau ada gejala penyimpangan, segera bertindak.
Kasus-kasus pelecehan seksual dan perundungan banyak terjadi karena orang-orang tak mengenali risiko, dan tak paham tentang bagaimana cara bersikap terhadap risiko itu.
Mudah-mudahan penjelasan panjang ini bermakna untuk pembaca, apabila ada yang kurang ditunggu komentar / masukannya. Terimakasih
0 Comments