Sadar bahwa populasi terbesar dari manusia itu adalah yang rata-rata (semua anak itu istimewa)
Dalam mendidik anak kita sering terpukau pada anak orang. Terpukaunya sambil mendongak ke atas. Artinya, kita sering menjadikan anak-anak hebat sebagai contoh dan patokan, sambil berharap anak-anak kita juga mencapai prestasi yang sama. Anak si A dapat beasiswa ke luar negeri. Anak si Fulan juara olimpiade sains. Banyak orangtua berharap anak-anak mereka bisa seperti anak-anak orang lain itu.
Berdasarkan harapan itu mereka menggenjot anak-anak untuk belajar banyak hal, melakukan berbagai kegiatan, sampai anak-anak menjadi sangat sibuk dan kelelahan. Seorang teman saya menggambarkan situasi itu dengan sangat baik, "Para orangtua banyak yang tidak mengenali anak-anaknya sendiri. Mereka lebih kenal dengan sosok anak-anak yang mereka impikan, dan terus-menerus berharap anak-anak mereka seperti anak-anak orang lain itu."
Sadarilah bahwa populasi terbesar dari manusia itu adalah yang rata-rata. Suka atau tidak, itu adalah hukum alam. Artinya, besar kemungkinan anak-anak kita adalah anak yang rata-rata belaka. Yang kita sering lihat dan kita jadikan patokan biasanya adalah anak-anak yang istimewa.
Menyadari kenyataan itu kita sering menyesali diri. Kenapa saya tidak dianugerahi dengan anak-anak yang istimewa sebagaimana anak-anak orang lain? Itu salah satu masalah, kesalahan berpikir manusia. Manusia cenderung hanya melihat apa yang ingin mereka lihat. Dalam hal ini mereka menganggap anak istimewa itu berkah belaka.
Menilai kekurangan dan kelebihan dalam cara mengasuh anak
Cukup sering orang membawa anaknya konsultasi, dari para orangtua yang anaknya istimewa, yaitu punya kecerdasan tinggi. Alih-alih bergembira, mereka justru kewalahan. Ada yang secara khusus minta waktu bertemu dengan pakar psikologis datang dari luar kota, agar anaknya bisa berbicara dengan pakar psikologi, untuk menggenahkan beberapa kegelisahan anaknya, yang tidak dimiliki oleh anak rata-rata. Ada ibu yang bercerita bahwa ia harus meninggalkan pekerjaan selama hampir dua tahun guna mendampingi anaknya yang sangat cerdas.
Intinya, setiap anak, setiap manusia punya masalahnya sendiri. Setiap orang punya kelebihan, tentu juga punya kekurangan. Tidak jarang pula, kelebihan seseorang justru sekaligus merupakan kekurangannya. Di situlah peran orangtua menjadi penting. Peran utama orangtua adalah menemukan kelebihan anak-anaknya, dan mengawal agar kelebihan itu tumbuh secara positif, berkontribusi positif bagi masa depan anak. Jangan sampai kelebihan itu justru menjadi sesuatu yang destruktif.
Dalam konteks ini, setiap anak sebenarnya istimewa. Anak kita mungkin saja rata-rata. Tapi, justru karena itu dia istimewa. Anak rata-rata adalah anak yang secara potensi tidak menonjol dalam suatu hal. Mereka berpikir dan hidup dengan cara anak-anak pada umumnya. Bagaimana mendidik mereka?
Tadi saya menyebut potensi. Ya, apa yang kita lihat, kecerdasan, bakat, sosok fisik, sifat-sifat, dan sebagainya, semua itu adalah potensi belaka. Potensi bukanlah segalanya. Yang membuatnya jadi berarti adalah bagaimana anak-anak itu bersikap terhadap potensi yang mereka miliki. Membangun sikap inilah yang sangat penting.
Ada begitu banyak kisah tragis soal anak berbakat yang akhirnya justru bermasalah. Sebaliknya, ada lebih banyak lagi cerita soal anak-anak yang rata-rata, tidak menonjol, justru sukses. Bahkan sangat banyak cerita soal anak-anak yang dianggap di bawah rata-rata, dan direndahkan, tapi justru menjadi orang hebat.
Anak dengan bakat istimewa memerlukan pendampingan. Sama halnya, anak yang rata-rata juga begitu. Demikian pula anak-anak yang berkebutuhan khusus. Artinya, bagaimana pun anak kita, tidak ada jalan yang mudah. Jangan berpikir bahwa kalau anak kita punya bakat istimewa, tugas kita akan lebih ringan. Justru bisa sebaliknya, tugas kita akan lebih berat.
Mengenali Potensi dan bakat dalam mengasuh dan mendidik anak
Jadi, apa yang harus dilakukan? Kenali anak kita. Kenali segenap potensinya. Ajak dia untuk menyadari potensi itu. Latih dia untuk membangun kebiasaan-kebiasaan positif agar ia tumbuh dengan mengubah setiap potensinya menjadi skill yang bermanfaat untuk masa depannya.
Kuncinya adalah mengenali anak kita, dan menumbuhkan dia dengan segenap potensi yang ada padanya. Bukan membangun harapan atas apa yang tidak dia miliki, lalu memaksa dia tumbuh menjadi orang yang bukan dirinya sendiri. Ibaratnya, kenali anak kita seperti kita mengenali pohon durian atau rambutan, dan tumbuhkan ia sebagaimana adanya. Jangan sampai anak kita adalah pohon rambutan, tapi kita bermimpi punya pohon durian, dan anak kita dirawat dan diasuh dengan cara merawat pohon durian.
Bagaimana mengenalinya? Tidak bisa tidak, kita harus sering hadir berinteraksi dengan anak. Kita tahu gerak-geriknya, paham karakternya, lalu sadar di mana kekurangan dan kelebihannya. Dampingi ia belajar, pahami kesulitannya. Dengan cara itu kita akan makin mengenal sosok anak kita secara detail. Dengarkan setiap perkataannya. Pahami setiap hal yang keluar dari mulutnya, serta tindak tanduknya. Dari situ kita akan mendapat gambaran utuh tentang siapa anak kita. Dari situ pula kita bisa memikirkan bagaimana mengarahkannya menuju masa depan.
Apakah orang miskin dilarang punya anak
Apakah orang miskin dilarang punya anak? Bukan. Mau miskin mau kaya, punya anak itu harus didasari dengan kesadaran soal konsekuensinya. Orang kaya maupun miskin harus sadar konsekuensi itu. Konsekuensinya ada yang materi, ada non-materi.
Dalam hal materi, orang kaya tentu punya kondisi yang lebih baik. Orang miskin harus berjuang ekstra untuk membuat persiapan. Artinya, lebih mudah punya anak kalau kamu sudah berkecukupan.
Soal non materi, banyak orang kaya yang justru gagal menyiapkannya. Orang miskin juga banyak yang gagal. Dalam hal ini kaya/miskin bukan soal.
Kalau ingin punya anak, rencanakanlah. Buat rencana untuk memenuhi kebutuhan materi anak. Punyalah anak karena Anda benar-benar menginginkan, sanggup bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhannya.
Semoga bermanfaat 🙏🙏
0 Comments